Friday, October 17, 2008

LUKA BERNAMA INDONESIA

Kehidupan selalu berulang, sejarah tak kan pernah berubah. Bagai siklus yang pada akhirnya kembali pada tempat semula. Kejayaan Indonesia yang dulu pernah teraih, seakan punah dan berubah menjadi sejarah penindasan dan penjajahan. Sama seperti jaman Jepang menguasai pulau pulau yang pada akhirnya bersatu menjadi Indonesia.
Indonesia adalah negara yang berdaulat, negara yang besar, negara yang memiliki taring yang tajam untuk mengunyah negara negara yang melencehkan martabat Indonesia. Aku belum menemukan negara yang seberuntung Indonesia, memiliki semuanya, tanah pertanian, barang tambang, minyak, laut, bahkan udara yang bersih pun begitu melimpah di Indonesia. Tapi, itu dulu.
Jika kita meminjam istilah Prof. DR. Amien Rais, Indonesia saat ini adalah manusia yang mengalami penyakit kronis. Jika tidak ditanggulangi dengan cepat dan tepat maka terpaksa diamputasi. Sejalan dengan itu, jelas kita harus memiliki pengetahuan yang cukup tentang kondisi Indonesia saat ini Bagaimana mungkin seorang dokter bisa menyembuhkan penyakit tanpa kita tahu bagaimana struktur tubuh pasien tersebut.. Bukannya meremehkan, tapi bukannya rahasia bahwa sudah banyak generasi muda sekarang yang tidak hapal sila ke 4 dari Pancasila, belum tahu berapa jumlah propinsi di Indonesia saat ini, bahkan tidak tahu dari mana kata “ Indonesia “ itu didapat.
Saat ini Indonesia mengalami proses “pencucian otak”. Dimana kita, Indonesia, yang seharusnya bangsa yang besar dipaksa tersugesti untuk mengakui bahwa Indonesia adalah bangsa yang harus mengemis kepada bangsa lain untuk bertahan hidup. Sejarah sudah membuktikan hal tersebut. Tesis Fukuyama yang menyatakan bahwa Kapitalisme merupakan akhir dari peradapan mampu menyihir negara negara berkembang untuk tunduk kepada Amerika yang pro kapitalisme. Padahal tesis tersebut hanyalah tesis yang sama sekali tidak ada pembuktiannya. Hanya sebagai alat pembenaran bagi Negara kapitalis untuk menyebarkan visi visi kekuasannya.
Penghancuran melalui ekonomi sudah terlalu kasat mata untuk bisa dilihat. Privatisasi yang digembor gembor kan sebagai alternative penyelesaian hutang luar negeri ternyata menjadi morphine yang berbahaya bagi kelangsungan hidup Indonesia. Efektif digunakan sebagai penghilang rasa sakit, namun kelanjutannya mengakibatkan peningkatan dosis yang berujung pada DO atau pun kematian. Dalam seminar nasional yang diadakan Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang tentang strategi peningkatan kesejahteraan, seorang pembicara yang bertitel Doktor dari UI menyatakan bahwa impor beras merupakah solusi mensejahterakan rakyat petani dengan alasan 80 % petani Indonesia merupakan petani Gurem yang harus membeli beras untuk konsumsinya. Sungguh aneh pendapat ini, ketika impor beras terus dilakukan untuk mengurangi harga beras dalam negeri yang tinggi maka beras beras yang dihasilkan oleh petani petani gurem di Indonesia menjadi tidak laku. Jika tidak laku, ngapain menanam padi, lebih baik beli beras impor saja. Wong lebih murah. Jika sudah terjadi hal tersebut kita hanya tunggu waktu saja untuk melihat Indonesia, negara yang pernah swasembada pangan, menjadi pengimpor beras no. 1 di dunia. Tragis.
Bahkan, Protokol Kyoto yang terlihat sebagai gerakan moral penyelamat global Warming dimata penulis hanyalah proyek negara negara besar untuk menancapkan ideology industrinya. Semuanya menjadi jelas ketika kita membuka kembali Tesis Huntington “ Perang Peradapan”. Dalam tesis tersebut dinyatakan bahwa bukan politik yang menjadi sumber peperangan dunia akhir, melainkan kebudayaan. Contoh kebudayaan yang pasti yang akan bertikai adalah kapitalisme dan kebudayaan China. Menarik. Dari jaman dahulu kita tahu bahwa lawan terberat dari kapitalisme adalah komunisme, sosialisme yang notabene sudah menjadi salah satu perangkat perekonomian China.
Negara besar yang tidak meratifikasi Protokol Kyoto adalah Amerika Serikat. Padahal Negara tersebut adalah salah satu penyumbang polusi terbesar di dunia. Moment ini dimanfaatkan China sebagai alat penghimpun kekuatan negera berkembang termasuk Indonesia untuk mendukung gerakan China, walaupun tidak kasat mata. Opini yang harus terbangun adalah negara Negara kapitalis adalah Negara yang tidak memiliki Pollutan Responsibilty, tidak memiliki kepedulian terhadap lingkungan.
Gajah bertarung dengan gajah, pelanduk mati ditengah tengah. Mungkin peribahasa ini cocok untuk kondisi sekarang. Namun sayang, dalam hal ini Indonesia bukanlah Gajah yang bertarung melainkan hanya pelanduk yang bakal jadi korban bagi siapa saja yang menang baik kapitalisme Amerika, ataupun sosialis komunis China.
Hal ini dikarenakan kita belum memiliki keberanian untuk menjadi mandiri, belum bangga dengan sifat kegotongroyongannya dan kewelas asihannya. Kita sudah terlanjur “tercuci Otak “ oleh globalisme Prof. Mubyarto menyatakan dengan sejelas jelasnya bahwa system perekonomian yang paling cocok untuk Indonesia adalah perpaduan adalah antara Sosialisme, Kapitalisme, dan religiusitas yang kesemuanya terangkum di badan usaha Koperasi.
Sekarang sudah tak sepantasnya kita terlena dengan euphoria jaman keemasan masa lalu. Saat ini adalah masa pergerakan, pembangunan, dan pemerataan. Koperasi yang memiliki kedudukan sangat kuat dalam konstitusi Indonesia sudah seharusnya mendapat perhatian lebih besar lagi. Pemerintah yang memiliki tanggung jawab besar dalam pengembangan koperasi harus tahu hal ini. Bahwa semangat ketimuran dan profesinalisme kerja adalah salah satu unsur obat yang mampu menyembuhkan penyakit kronis yang hinggap si tubuh pertiwi Indonesia.
Semoga….

Aku yang masih dalam perjalanan,
Capung Dewangga

No comments: