Saturday, June 28, 2008

Jangan Jatuh Ke lubang Yang Sama

”bagi seorang pejuang tidak ada stasiun akhir”
Soekarno

Dulu, kalimat emas seperti diatas bagaikan teriakan seorang Umar bin Khatab kepada prajuritnya. Penyemangat jiwa, menghilangkan ketakutan akan derita yang diakibatkan oleh revolusi perlawanan.
Ketika semangat itu dilempar pada mahasiswa Unnes saat ini, ternyata tak berbekas. Menguap. Mahasiswa, bahkan beberapa yang berkecimpung di Lembaga Kemahasiswaan lebih memilih untuk tetap tenang diruang kuliahnya dan menganggap hal diluar tembok ruang kuliah bukan urusannya.
Penyikapan SPL minimal 5 Juta contohnya, suatu kebijakan yang sama sekali tidak pro rakyat. Membatasi hak orang miskin mendapatkan pendidikan yang bermutu. Ternyata masih ada Lembaga Kemahasiswaan yang mendukung kebijakan tidak populis ini. Sama sekali tidak mencerminkan idealita seorang mahasiswa pendukung rakyat.
Padahal seperti diucapkan oleh pendekar HAM, Munir, mahasiswa menjadi peluru kekuasaan yang tiran, golok bagi leher leher militeristik absolut. Penghianat gerakan mahasiswa hanya menjadi benalu kesucian idealisme kerakyatan yang dijunjung mahasiswa.
Jangan jatuh kelubang yang sama, sabda Muhammad, seorang Rosul agama Islam. Jangan sampai gerakan mahasiswa runtuh ditangan penghianat untuk ke dua kalinya. Karena itu berarti mahasiswa lebih ”goblok” (maaf) daripada keledai, sebodoh bodohnya hewan.
Kebijakan penarikan kontribusi PKL bagi mahasiswa non kependidikan adalah bentuk ketidakadilan penguasa, ” somenthing wrong” dalam pelaksanaan kebijakan di Unnes.
Penulis sempat berdiskusi panjang lebar dengan Pak Usman (Koordinator PKL) dan juga Pak Wakimin, pegawai yang bertanggungjawab terhadap keuangan PKL.Keduanya menyatakan bahwa ada beberapa alasan yang mendasari diambilnya kebijakan penarikan kontribusi PKL yaitu,
Akibat terhentinya bantuan keuangan dari ”Anggaran Ritun dan P2U” sehingga otomatis sumber keuangan PKL hanya PNBP.
Hasil dari evaluasi menyimpulkan bahwa penyebab dari tidak hadirnya Dosen Pembibing di tempat PKL dikarenakan ketidak adaan biaya transportasi. Dana ini mengambil cost terbesar dalam pembiayaan PKL.
Diharapkan dengan adanya kontribusi ini, mahasiswa lebih terlayani dengan baik.
Sayangnya, ketika dihadapkan pada kenyataan, alasan alasan tersebut tidak logis dan terkesan dipaksakan. Anggaran tahun 2008 Universitas Negeri Semarang sudah ditentukan pada tahun 2007 pun nanti anggaran tahun 2009 telah dianggarkan sejak tahun 2008. Ini berarti jika pada semester lima PKL ”free” gratis, seharusnya untuk semester 6 ini juga gratis karena masih dalam satu tahun anggaran 2008. Jadi alasan pertama yang diungkap oleh Pak Usman dan Pak Wakimin tidak berdasar.
Alasan penarikan kontribusi PKL yang tunjukkan untuk dana transportasi dosen pembimbing juga tidak logis. Ini dikarenakan dalam mekanismenya, dosen pembibing mendapatkan surat tugas dari Institusi (Unnes) . Sehingga institusi bertanggungjawab atas instrumen- instrumen pendukung terlaksananya tugas yang dibenbankan, dalam hal ini contohnya adalah dana transportasi. Jadi tidak bisa jika biaya ini dibebankan pada mahasiswa.
Dan yang paling menyakitkan adalah alasan agar mahasiswa mendapatkan pelayanan yang lebih. Lapangan membuktikan, mahasiswa yang diharuskan membayar kontribusi ini mencari perusahaan ataupun institusi pemerintahan secara individual, yang berarti transportasi, copy surat menyurat dan segala keperluan untuk mendapatkan tempat PKL tidak mendapatkan bantuan dari Unnes. Sangat tidak beralasan dan tentunya tidak adil kebijakan penarikan konstribusi PKL ini.
Lembaga Kemahasiswaan yang memiliki tanggung jawab sosial dan advokasi terhadap mahasiswa tidak boleh menutup mata dan menganggap ini masalah individu mahasiswa yang bersangkutan.Perlu persatuan atas idealisme dan komitment dalam menanggapi kebijakan ini. Penolakan menjadi kata mati terhadap kebijakan yang tidak adil dan tidak pro mahasiswa.
Maju melawan atau dia tertindas, karena mundur dari perjuangan adalah satu penghianatan, kata Capung Dewangga. Jangan sampai pada perjalanannya dalam mengadvokasi mahasiswa, Lembaga kemahasiswaan memilih untuk tunduk dan mendukung kebijakan ini. Kesalahan tidak boleh terjadi dua kali, penghianat gerakan suci mahasiswa harus enyah dalam barisan yang masih memegang hakikat tanggungjawab titelnya sebagai mahasiswa.
Capung Dewangga
27062008

Wednesday, June 25, 2008

Kepada Para Penjilat Dubur Penguasa


Hai kalian kutu busuk
Penghisap sisa sisa dubur tuanmu
Meminta minta, menjulur lidah
Demi secuil tinja

Kalian adalah sampah sampah terbubuk
Yang telah dilahirkan tirani
Kalian adalah penghianat culas
Dari deretan genggaman mahasiswa

Aku tak habis pikir,
Dimana kau pakai nurani mu
Kapan kau pakai otakmu
Atau kau memang hanya punya kelamin ?
Yang hanya menhamba pada nafsu

Wahai, penghianat penghianat kesucian
Pantaslah negeri carut marut tak karuan
Karena penguasa seperti kalian
Kutu kutu busuk

Pantaslah penjara selalu penuh
Pantaslah tanah kuburan kehilangan lahan,
Karena kaulah yang menciptakan

Dunia telah memutuskan bahwa
Aku adalah aku
Dan kau adalah kau
Penghianat tak mungkin duduk bersama
Menenggak anggur kepahitan
Dengan pejuang

Tuhan apakah kau juga tipu?
Quran tak terpercaya
Karena Quran sama dengan Uang

Perlawanan seiring dengan kesunyian
Sembunyi dalam pekat malam
Menerobos ranting pohonan,
Memangkas, menebas
Dalam diam

Diam tak berarti tak bersuara
Diam bersama sedikitnya pejuang
Diam menolak anggaran anggaran
Diam untuk menolak diam terhadap penindasan
Diam ku berarti kekuatan
Diam ku berarti bungkam terhadap kemewahan
Diam ku berarti berkobar perlawanan
Diam ku berarti mati atau menang

Capung Dewangga
250608

Monday, June 23, 2008

KETIKA DEMOKRASI TAK MEMILIKI PANUTAN

Berawal dari keteladanan kata Nabi Muhammad SAW, setiap buah berasal dari bibit yang unggul. Kreativitas, kepercayaan, kerjasama, dan saling menghormati menjadi instrument penting dalam pembentukan keteladanan ini. Tingkah laku lebih merasuk dalam pikiran setiap manusia dibandingkan dengan kata kata yang menghambur dari mulut.

Perilaku demokrasi dalam pengambilan keputusan adalah hal dasar yang harus dicontohkan oleh setiap individu, baik mahasiswa, karyawan bahkan jajaran pimpinan Universitas. Tidak mungkin ketika mahasiswa harus berperilaku demokrasi namun jajaran pimpinan tidak mencontohkan bagaimana seharusnya demokrasi dilaksanakan.

Inilah yang sekarang dirasakan oleh aktivis lembaga kemahasiswaan di Universitas Negeri Semarang. Tidak ada kepercayaan, saling menghormati, ataupun pembelajaran kreativitas lagi. Setiap keputusan tak lagi diputuskan dengan cara dewasa.

Paling tidak mekanisme pelaksanaan Pengenalan Mahasiswa Baru menjadi bukti dari hilangnya budaya demokrasi. Pihak rektorat dan fakultas dengan sepihak menunjuk Pembantu Rektor I dan para Pembantu Dekan I untuk menjadi ketua panitia Program Pengenalan Akademik (OKKA ?) tanpa ada proses dengar pendapat dengan Lembaga Kemahasiswaan di Unnes.

Semua acara dan materi dalam PPA (OKKA ?) ditentukan oleh pimpinan universitas dan fakultas, sama sekali tidak ada musyawarah. Pun ketika lembaga Kemahasiswaan mencoba untuk berkerja sama dengan mengirimkan surat permohonan audiensi, sama sekali tidak ada tanggapan.

Tidak berlebihan jika kemudian lembaga kemahasiswaan terpaksa “ mengajarkan” demokrasi pada para pengambil kebijakan melalui demonstrasi, tidak kurang ajar kiranya mahasiswa memanggil rektornya untuk turun dari lantai tiga rektorat dan bersama sama menentukan sisi terbaik dari PPA (OKKA ?).

Orang tua menyayangi yang muda, dan yang muda menghormati yang tua. Jangan sampai ada kepincangan moral. Sikap otoriter dan tiran tidak selayaknya hinggap di jiwa jiwa inteletual dan akademisi. Sudah saatnya semua belajar. Apa dan bagaimana seharusnya demokrasi di wujudkan.

Capung Dewangga 240608

Menteri Luar Negeri BEM KM UNNES

SPL ANTARA EGOISITAS DAN KEMANUSIAAN MAHASISWA


Sampai saat ini mahasiswa, diakui atau tidak, masih ditempatkan pada strata yang terhormat. Sedikit dari sekian banyak penduduk di Indonesia yang berkesempatan menyenyam pendidikan tinggi. Masyarakat masih berharap dengan kemampuan akademik yang lebih mahasiswa mampu memberikan hal positif bagi lingkungan yang ada di sekitarnya.

Jika mengutip kata kata dari Antonio Gramsci, semua orang mampu menjadi Intelektual namun sedikit orang yang bisa menjalankan fungsi Intelektual. Fungsi Intelektual disini adalah proses perubahan berpikir masyarakat, menyatu dengan masyarakat, dan membangun masyarakat. Begitu juga pendidikan yang dienyam oleh kaum intelektual harus mampu mengejawntahkan humanisasi, liberasi, dan transedensi. Humanisasi adalah mampu menempatkan manusia sebagai manusia yang haknya tudak semena -mena dibungkam, liberasi diartikan sebagai pembebasan manusia dari penindasan dan penjajahan kaum borjuis, apapun bentuknya. Transedensi berupaya meletakkan religiusitas pada tempatnya, bukan hanya pada ranah ibadah vertical.

Sumbangan Pengembangan Lembaga yang diwajibkan Universitas Negeri Semarang bagi mahasiswa yang lolos ujian SPMU sebesar minimal Rp. 5 juta merupakan contoh jelas atas apa yang diteriakkan oleh Antonio Gramsci sebagai kegagalan fungsi Intelektual pendidikan. Angan angan akan fasislitas yang mewah mampu membungkam ide kritis mahasiswa, gedung gedung megah tinggi dan ber Ac melunturkan semangat perjuangan mahasiswa untuk membebaskan rakyat. Mereka menjadi lupa arti kata rakyat sesungguhnya, bagi mereka rakyat adalah menjadi manusia manusia berperut buncit, bersedan mewah. Dan duduk dimeja dengan semilir udara dingin yang berasal dari AC buatan Jepang. Bukan rakyat yang meninggal di kolong jembatan akibat kelaparan, ataupun anak kecil yang hanya mampu tidur di pinggir Toko Mas karena kemarin Satpol PP dengan buas mengacak ngacak gubuk kecilnya. Tanpa kasihan.

Egoisitas mahasiswa kini membahana, menggerus sisi sisi kemanusiaan yang sejatinya sifat Tuhan. Kata kata ” semester atas tidak membayar SPL” menjadi justifikasi persetujuan massal pelaksanaan penarikan dana ini. Satu sisi mungkin Universitas Negeri Semarang mampu menjadi pencipta ilmuwan terbaik, namun disisi yang lain semakin sedikit anak bangsa yang bisa mencicipi indahnya pendidikan di Unnes karena ketidakberdayaan ekonomi. Egois dan individualistis. Kita lebih memilih mengenyam pendidikan mewah dan mahal kemudian berpura pura tak tahu keadaan diluar. Cuma berharap semua berjalan baik baik saja.

Momentum pemungutan SPL berjasa melakukan seleksi alam terhadap ribuan mahasiswa Unnes menentukan mana yang benar benar masih berpihak pada rakyat (yang sesungguhnya). Memisahkan mahasiswa yang masih menganggap kampus adalah penyambung lidah rakyat, bukan semata mata penyalur kekuasaan dan kemapanan kaum kaya. Bukan hanya kumpulan ilmuwan yang bersatu mendukung kenaikan BBM, atau bersatu dalam menarik kesimpulan bahwa semburan Lumpur Lapindo hanya akibat gejala gempa Jogja. (capung dewangga).

AGI SUPRAYOGI

MENLU BEM KM UNNES

Menggagas Reformasi Jilid II

Sejarah telah menorehkan tinta emas pada lembaran pergerakan pemuda dan mahasiswa Indonesia. Tak ada yang menyangkal kemerdekaan Indonesia berada di tangan pemuda, jika Soekarno dan Hatta tidak diculik secara paksa untuk segera memproklamirkan kebebasan Indonesia mungkin Indonesia sekarang masih dijajah oleh Sekutu. Pun ketika masa kemerdekaan, penggulingan Soekarno di motori oleh mahasiswa. Terakhir, tahun ‘98 presiden Soeharto mengaku kalah dengan kebuasan mahasiswa Indonesia.

Soe Hok Gie mengimajinasikan mahasiswa sebagai seorang koboi yang datang ke kota karena kota sedang di ganggu penggudal dan pemerkosa, sang koboi terlibat pertarungan dengan pengganggu kedamaian kota. Begitu benggundal dan pemerkosa tewas, koboi ini segera berlalu, merumput kembali dengan kudanya. Mahasiswa bergerak keluar dari kampus mencampakan buku teksnya, perkuliahannya dan bersama turun ke jalan. Memberantas kedzaliman. Setelah selesai, kembali menenteng tas berisi perlengkapan perkuliahan.

Setelah prahara Reformasi berlangsung, kebebasan menjadi komoditi yang laris bak kacang goreng. Semua bebas bersuara, berdemokrasi tanpa takut ancaman dihakimi. Namun, kebebasan yang sejalan dengan perbaikan serasa jauh paggang dari api. Di kiri kanan rakyat miskin masih kelaparan, anak buruh kasar tetap hanya bermimpi mengenyam pendidikan layak, dan korupsi pun masih bergulir di lembaga pemerintahan.

Apa yang salah dengan reformasi, kenapa perubahan menuju arah kebaikan belum juga menunjukkan tanda tandanya ? Mahasiswa sebagai aktor inrelektual reformasi harus bertanggung jawab terhadap raktyat dan segera membenahi idealisme agar efuoria ‘98 tidak menutupi kenyataan bahwa Indonesia masih berduka.

Beberapa bulan telah berlalu melewati 10 tahun reformasi, ini merupakan momentum luarbiasa bagi mahasiswa untuk merancang kembali visi dan misi reformasi, meneguhkan semangat serta membakar sisa sisa pragmatsme dalam diri mahasiswa. Demi mennciptakan kesucian gerakan mahasiswa.

Reformasi jilid II adalah keniscayaan yang harus segera dilaksanakan, Kegagalan mahasiswa dalam mengawal Reformasi I menjadi pelajaran berharga untuk tidak serta merta percaya kepada pemimpin demokratis yang ternyata masih pro status quo. Sang Koboi harus mengamankan kota dari begundal dan pemerkosa, namun tidak tergesa kembali merumput begitu kota terlihat tenang.

(140308_capung dewangga)

Friday, June 20, 2008

PKL ( Proyek Korupsi Lagi ) di UNNES

"komersil banget"
kata itu mandadak terlontar setelah membaca edaran dari Rektor tentang pembayaran kontribusi PrakteK Kerja Lapangan (PKL) untuk mahasiswa non Kependidikan sebesar Rp. 250.000,00. padahal mahasiswa secara individual menyelesaikan permasalahan dan instrumen dari PKL. Mulai dari pencarian tempat praktek, pelaksanaan PKL, konsumsi, bahkan tranportasi pun menjadi kewajiban sendiri. Universitas hanya tanda tangan persetujuan. sangat tidak logis ketika mahasiswa masih harus membayar
Waktu sosialisasi yang begitu mepet dengan batas akhir pembayararan (sosialisasi tanggal 20 Juni 2008, dan batas akhir 26 Juni 2008) dan tidak transparannya penggunaan dana tersebut menerbitkan berbagai praduga buruk atas pelaksanaan kebijaksanaan ini.
pertama; ketika melihat surat Edaran tersebut yang bertanda tangan adalah Pembatu Rektor II, PR yang mengurusi Admintrasi Umum dan Perlengkapan Unnes. Apa hubungannya dengan PKL. Seharusnya yang tanda tangan adalah PRI yang menjadi penanggung jawab ke akademik an. apakah uang PKL ini berhubungan dengan banyaknya hutang Unnes akibat pembangunan sana sini? apakah uang ini sebagai proyek penjaringan dana segar setelah SPL 5 juta?
kedua; sebenarnya kebijakan ini sama sekali tidak memiliki landasan hukum, dibuktikan dengan tidak adanya peraturan rektor yang mempositifkan pembayaran ini. Dalam edaran tertulis "sambil menunggu keputusan rektor tentang pembayaran PKL...". Hal ini tentunya tindakan melanggar hukum dan pelaksanaan "corupted corporate" yang nyata.
melihat kenyataan diatas, mahasiswa harus menolak kebijaksanaan yang tidak transparan dan melanggar hukum. bersedia membayar sama saja mengijinkan kejahatan pendidikan berlangsung di kampus Universitas Negeri Semarang.
TOLAK !!!
TURUNKAN SUDIJONO SANG REKTOR (KORUPTOR) UNNES !!!
21062008
capungdewangga
menteriluarnegeri bemkmunnes

kemewahan dan idealita mahasiswa



Lembaga kemahasiswaan merupakan instrument penting dalam upaya pelaksanaan demokratisasi dikampus. Kemampuan menilai serta menganalisis kebijakan rektorat menjadi kekuatan untuk melawan peraturan yang tidak pro mahasiwa ataupun rakyat. Hal ini jamak menjadi idealita lembaga kemahasiswaan.
Namun, dilapangan ternyata tidak seperti yang tertulis diatas. Lembaga kemahasiswaa (BEM,UKM,DPM) seperti terpaksa menjadi perpanjangan tangan kepentingan rektorat. Pelaksanaan kegitan banyak diintervensi oleh pemerintah kampus dan aktivis lembaga kemahasiswaan tak memiliki kekuatan untuk melawan.
Jika mantan Presiden Soeharto menggunakan Keputusan Kopkamtib No. Skep.02/Kopkam/ 1978, Tentang Pembekuan Dewan Mahasiswa,untuk memandulkan kekuatan mahasiswa, maka pada masa reformasi, Lembaga Kemahasiswaan “didiamkan” dengan kemewahan fasilitas.
Hal ini menyebabkan aktivis mahasiswa mengalami ketergantungan dengan fasilitas yang diberikan Pemerintah Kampus, ketergantungan ini melemahkan daya presser mahasiswa. Ancaman dihentikannya dana mahasiwa menjadi pembenaran atas persetujuan aktivis LK terhadap kebijakan yang gelontorkan pemerintah kampus.
Padahal jelas, fungsi mahasiswa khususnya aktivis LK selain fungsi akademik juga memiliki fungsi jawab sosial. Salah satunya fungsi sosial tersebut adalah men advokasi mahasiswa dari ketertindasan dan ketidakadilan penguasa kampus. Kebijakan non populis bukan untuk dikawal, melainkan untuk dilawan. Berdosa, ketika kebijakan tersebut mengalir tampa gerakan resistensi dari aktivis mahasiwa.
Ruh perlawanan atas penindasan dan penjajahan harus menjadi ruh setiap pergerakan mahasiswa. Jiwa merdeka harus senantiasa mengikat kuat di hati aktivis mahasiswa. Fungsionaris LK harus mengingat kembali untuk apa mereka dipilih, mangapa mereka dipercaya untuk menjadi wakil suara mahasiswa. Bukan untuk menerima kemewahan kemewahan dari pemerintah kampus yang membungkam suara kritis aktivis mahasiswa.
Harus disadari sepenuhnya oleh aktivis LK bahwa oposan sejati tak mangkin bersahabat tulus dengan para penguasa. Keyakinan bahwa lembaga kemahasiswaan bukanlah satu satunya wadah perjuangan hak mahasiswa ataupun masyarakat harus mengakar disetiap level level pergerakan aktivis mahasiswa. Masih banyak wadah gerakan yang dapat aktivis mahasiswa ciptakan ketika represifitas Pemerintah Kampus yang ditunjukkan dengan pembekuan ataupun pemutusan fasilitas berlangsung. Walaupun itu merupakan gerakan ilegal ataupun bawah tanah.
Sudah saatnya, aktivis mahasiswa kembali merenungkan hakikat mahasiswa.Bersikap keras dan independen. Maju melawan tirani.
21062008
Capung dewangga
Menteri Negeri BEM KM Unnes

Panwaslu Diminta Perketat Pengawasan PNS

Panwaslu diminta perketat pengawasan PNS
05042008
SEMARANG (Joglosemar): Netralitas Pegawai Negeri Sipil (PNS) kembali disorot. Kali ini oleh puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Aktivis Mahasiswa se-Universitas Negeri Semarang (Unnes) atau Anak Mas. Mereka berunjuk rasa di Bundaran Air Mancur Jalan Pahlawan Semarang, Jumat (4/4). Para mahasiswa ini mendesak Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) untuk memperketat pengawasan terhadap pelaksanaan Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jateng, terutama tentang netralitas PNS dalam Pilgub. “PNS itu bukan juru kampanye,” ungkap mereka dalam orasinya. Menurut Koordinator Aksi Agi Suprayogi, permasalahan netralitas birokrasi dalam Pilgub tidak lagi hanya menjadi persoalan etika, tetapi telah digeser ke arah urusan ketatanegaraan. “Sudah sejak lama kita mengetahui bahwa birokrasi sipil dalam hal ini PNS adalah mesin politik dari kekuatan politik tertentu,” ungkap Agi.PNS, lanjutnya, dalam setiap perhelaan politik, sering kali digunakan sebagai kekuatan politik yang akan menuai suara atau mempengaruhi perolehan suara. Padahal, di sisi lain hal ini menjadi semacam bumerang bagi demokratisasi karena netralitas dalam politik lebih bersentuhan kepada nilai-nilai etis yang akan menentukan baik tidaknya hasil Pilgub. “Dalam Pilgub langsung, sebuah hasil dari kompetisi yang dikatakan fair dan baik, hanya jika proses yang terjadi menjamin terselenggaranya proses secara terbuka dan bebas dari kecurangan,” tegasnya. Karenanya, etika politik yang harus dikembangkan adalah setiap proses seharusnya bebas dari kemungkinan dan kerawanan akibat pengaruh ketidaknetralan tersebut. KPUD dan Panwaslu sebagai lembaga penyelenggara dan lembaga pemantau Pilgub, harus lebih memperketat penjagaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan Pilgub, terutama terkait dengan netralitas PNS tersebut. (ena)

SPL UNNES, otak korup penguasa unnes

Salam Kebenaran !!!
Merdeka !!
Kawan, pendidikan adalah hak setiap manusia yang dilahirkan, demi Tuhan. Pun begitu Soekarno lebih dari 50 tahun yang lalu sudah merasakan betapa pentingnya pendidikan sebagai sarana pembangunan rakyat, bangsa, dan Negara.
Memanusiakan manusia, adalah hakikat dari pendidikan. Membebaskan manusia dari ketidak adilan, melepaskan setiap himpitan penjajahan, baik ekonomi, budaya, dan politik.Sang begawan Ki Hadjar Dewantoro telah berprinsip dalan etika tutwuri handayani- nya, bahwa hidup adalah pendidikan, tak lain tak bukan.
Namun, apa yang terjadi ketika pendidikan yang merupakan variabel pembebas ternyata jadi variabel penghambat kemajuan dan juga mengencangkan ikatan penjajahan? Mungkin, Universitas Negeri Semarang patut dijadikan contoh penghianatan pendidikan terhadap anak didiknya sendiri.
Kawan, tahukah engkau jika di Unnes tengah terjadi proses diskriminasi dalam mengenyam pendidikan tinggi. SPMU yang seharusnya menjadi sarana penyaring calon mahasiswa UNNES yang memiliki prestasi ternyata berubah menjadi mesin penghapus impian sang petani miskin, tukang angkut sampah, pedagang kaki lima, dan juga buruh yang gajinya sebatas UMR (sekitar 800 ribuan perbulan) untuk menyekolahkan anaknya agar tidak menjadi miskin seperti orang tuanya.
Jumlah uang masuk yang harus dibayar jika ingin menjadi mahasiswa UNNES adalah minimal Rp. 5.000.000,00. bahkan untuk makan saja rakyat miskin harus hutang sana sini. Apakah orang miskin masih harus menerima pahitnya penjajahan di negerinya sendiri ?
Kawan, dalam hati pastilah kita masih memiliki secuil hati nurani. Apa yang kita lakukan jika kita, kawan, adik, atau saudara kita yang merasakan ketidak adilan ini? Diam tetap bergumul dengan buku teks kita, merasakan hembusan semilirnya kipas angin di kelas kita atau tersentak melihat penindasan ?
Kawan, bersama kita kepalkan tangan kita, proklamasikan kebebasan kita. Melawan penindasan. Bukan saatnya lagi kita melihat siapa dia, apa ideologinya, apa agamanya. Tak perlu !!! Kita bersatu bukan karena apa apa . Kita bersatu karena hati nurani yang menyatukan .
Merdeka Kawan Kawan !!!

ketika mahasiswa harus subversif



Kampus merupakan salah satu institusi pendidikan yang sudah seharusnya melaksanakan kewajiban sebagai kontrol kebijakan dari pemerintah yang tidak pro rakyat. Sudah menjadi fakta tak terbantahkan bahwa tekanan moral dari institusi kampus memiliki daya tawar paling tinggi dalam menekan serta menghancurkan kebijakan non populis. Hal ini dikarenakan dukungan dan persepsi masyarakat yang masih percaya dengan institusi kampus bersih dari kepentingan politik kekuasan.
Salah satu organ yang menjadi motor pengendali tersebut adalah mahasiswa mahasiswa idealis yang berkecimpung dalam Organisasi Mahasiswa Intra Universitas, entah itu BEM, DPM ataupun Kelompok Study yang jamak kita lihat di kampus kampus. Mereka dengan segenap aktivitasnya mampu menyatakan dengan gigi gerahamnya bahwa mereka adalah oposan non parlementer, yang bergerak di jalan melalui moral force.
Penggambaran di atas adalah bentuk kekuasaan mahasiswa pada tahun 1977, yang dengan berani menggayang Perdana Menteri Jepang ketika datang ke Indonesia, menolak dengan tegas paket kapitalisme yang dibawa oleh Jepang. Hingga peristiwa Malari menggores sejarah peradapan mahasiswa.
Setelah itu, pembredelan serta pengkerdilan Organisasi Mahasiswa Intra Universitas pun berlangsung. Melalui Surat Keputusan Depolitisasi Kampus SK. No. 028/1978, Tentang Penghapusan Hak-Hak Politik Mahasiswa, Keputusan Kopkamtib No. Skep.02/Kopkam/ 1978, Tentang Pembekuan Dewan Mahasiswa, dan Pemberlakuan NKK-BKK No. 0156/u/ 1978, pemerintah memandulkan kekuatan mahasiswa di Indonesia hingga reformasi memecahkan kebekuan feodalisme tersebut.
Sayangnya, hingga sekarang ketika jaman kebebasan berlangsung, Organisasi Mahasiswa Intra Universitas masih belum bisa menunjukkan kekuatannya. Organisasi Mahasiswa belum mampu melawan tekanan dari kampus. Pemerintah kampus masih melakukan tindak represif terhadap perlawanan mahasiswa atas berlakunya kebijakan kampus.
Pemerintah dengan mudah mengatur Organisasi Mahasiswa Intra Universitas dengan pisau PP No 60 Tahun 1999 pasal 29 yang menyatakan bahwa Pimpinan Universitas adalah penanggung jawab tertinggi di Universitas. Ini menyebabkan Organisasi Mahasiswa Intra Universitas (contoh BEM) lemah dalam menjalankan advokasi mahasiswa. Kenaikan SPP merupakan contoh nyata arogansi Pemerintah Kampus yang sangat sulit untuk dihantam oleh Organisasi Mahasiswa Intra Universitas. Ancaman penghentian dana ataupun pembekuan Organisasi Mahasiswa Intra Universitas menjadi warna yang harus dihadapi.
Masih jelas di ingatan, bagaimana represifnya Rektor Universitas HKBP Nonmensen yang mengeluarkan serta menskors mahasiswa yang melawan kebijakan universitas yang menaikan SPP. Rektor Universitas Jenderal Soedirman, dengan kekuasaannya melakukan tindakan indemokrasi dengan membekukan BEM KM Universitas dengan alasan BEM KM Unsoed merupakan organisasi bentukan mahasiswa tanpa persatujuan rektorat sehingga dinyatakan sebagai organisasi mahasiswa illegal.
Bagaimana mungkin organisasi Mahasiswa yang memiliki tanggung jawab terhadap masyarakat untuk membebaskan dari ketidak adilan ternyata tidak memiliki independensi gerakan karena dengan mudah disetir oleh pemerintah kampus?
Organisasi Intra Universitas harus segera mengatur diri dan membentuk front perlawanan yang independen serta sejajar dengan kedudukan rektorat (dalam arti tidak bisa di intervensi atau dibekukan). Front bisa diupayakan dengan membentuk Keluarga Mahasiswa (KM) Universitas yang menyatukan organisasi mahasiswa yang ada di universitas (baik BEM,DPM,UKM, atau Kelompok Study Mahasiswa).
Kedudukan KM ini selain untuk mempererat kerjasama antar organisasi di kampus dan memperkuat kedudukan perjuangan massa mahasiswa di kampus, juga berperan dalam kerangka mengisolir klik paling reaksioner di kampus yaitu jajaran rektorat ataupun pengelola kampus.

Capung dewangga
Menteri Luar Negeri BEM KM Unnes