Friday, October 17, 2008

SKETSA PERLAWANAN (hanya cerpen)

…..ini adalah daerah kekuasaan kami
Jangan lewati batas itu
Jangan campuri apa yang terjadi disini
Kalian orang luar
Kalian harus diam

Sayup sayup kudengar puisi pemberontakan Wiji Thukul dari tape bobrok yang akupun lupa kapan membelinya. Kesendirian ini, dalam kamar yang pengap,menerbangkan pikiranku pada sisi waktu yang pernah aku lalui..

@@@@

Baru dua tahun lalu,dengan secangkir kopi dan sebatang pisang goreng dingin. Kita saling menghujamkan isi otak kita, mencaci maki rektor yang dengan angkuh menaikkan biaya pendidikan hingga 50 %. Dengan buku karangan Ali Syariati dan juga kumpulan pidato Hasan Al Bana kita coba asah jalan pikiran dan pisau analisis untuk menghadapai perubahan perubahan buruk yang terjadi di kampus ini.
Kita berikrar pada jiwa jiwa, bahwa kita adalah manusia yang bebas dari keangkuhan,lepas dari kesombongan dan bermusuhan dengan kekuasaan. Karena kekuasaan selalu melahirkan keangkuhan, dan keangkuhan tak pernah pergi jauh dari keserakahan.
Kita bertekad menghancurkan sisa sisa orde baru yang ada dikampus ini, melawan otoritarianisme penguasa, bahkan terbesit pada diskusi kita untuk melakukan mogok belajar dan demonstrasi besar besaran.
Saat jalanan kampus tiba tiba sesak dengan teriakan mahasiswa, menyeruak menembus tirai dan membanngunkan angin yang telah lama mati. Kita berjalan dalam rombongan itu kawan. Kau bawa poster yang mengecam pendidikan mahal, kau lontarkan suara suara pembebasan, menghina ketidakadilan, dan menuntut dibatalkannya peraturan kenaikan biaya pendidikan.
Perlahan, langkah langkah kaki menapak tangga gedung termewah di kampus ini. Pahatan kata Rektorat terbaca jelas. Dengan gagah kau pegang megaphone itu, “ pendidikan adalah hak setiap manusia Indonesia, tidak ada seorangpun yang berhak untuk merampas hak itu dari masyarakat. Kenaikan biaya kuliah yang terjadi dikampus ini adalah contoh penindasan dan upaya kapitalisasi pendidikan yang hakikatnya suci. Suaramu melengking tinggi, meletup letup bak seorang Umar bin Khatab yang berorasi mensemangati pasukannya agar tak takut mati di medan perang.
Saat barisan polisi memaksa para demonstran mundur, kau bangkit berdiri di barisan paling depan, mengomando untuk melawan, merangsek,menembus pertahanan polisi bersenjata lengkap. Kulihat jelas leleran darah yang menetes dari kepalamu ketika bayonet polisi tak sempat kau halau.”Sampai Mati” teriakmu. Letusan pun pecah. Kau tumbang, namun kuyakin tak mati.
Kawan, kucari tubuhmu di tengah kerumunan para demonstran yang menyelamatkan diri dari desingan peluru dan sabetan bayonet. Tapi, tak pernah kutemukan tubuh kurusmu, hilang bersama jerit ketakutan. Hanya ada jejak darah yang mungkin berasal dari timah panas yang kau terima.

@@@@

Dua tahun berlalu, saat kekalahan demi kekalahan menghinggapi perjuangan mahasiswa melawan tirani, kucari bayangmu kawan, kurindu dengan semangatmu, ku ingin merasakan darah suci yang menetes dari tubuhmu dulu. Sosok pejuang sepertimu telah lama mati. Jiwa patriotis perlahan lahan luntur terwarnai percik percik hedonisme. Api semangat yang dulu berkobar terlihat semakin redup, mungkin mati jika tak ada lagi minyak tanah yang menghidupinya.
Pendidikan semakin mahal, kawan. Tak ada lagi Si Samin, Thole, ataupun Siti. Sekaran berganti John, Charles, ataupun Elizabeth. Tak ada lagi sepeda kumbang butut yang dulu setia menghantarkan kita ke rapat pergerakan. Tempat parkir kini berjubel sedan sedan mewah yang akupun muak saat melihatnya. Sudut kampus pun tak ada lagi diskusi, yang ada hanya kumpulan pasangan berpelukan walau ikatan halal belum mereka laksanakan.
Kawan, apakah dua tahun waktu yang cukup untuk mengubah dirimu?mengubah keberanian menjadi kepengecutan, membuang kemanusiaan menjadi keserakahan, atau menggerus jeans kumal menjadi jas lengkap dengan dasinya?
Kawan, kembalilah ke jalanmu. Tanggalkan dasi kupu kupu dan sepatu mengkilatmu. Segeralah keluar dari ruang dingin gedung rektorat itu. Disana kau hanya menjadi pengecut dan menghamba kekayaan. Kau akan dipaksa mematuhi keputusan keputusan yang dulu bersama kita hina dengan sumpah serapah. Duniamu disini. Di jalanan panas, makan bersama anak gelandangan,tidurdisamping para tua yang tak pernah memiliki rumah. Bukan disana. Gedung itu menipu. Kau tak kan pernah merasakan lagi makna keberanian, pengorbanan, dan juga perjuangan.
Mari kita bangun lagi kekuatan. Menghidupkan kembali ruh gerakan yang mungkin hampir padam. Ali Syariati dan Hasan Al Bana sudah terlalu banyak mengajari hakekat dari perlawanan. Penculikan, pengasingan, tiang gantungan bahkan pembunuhan adalah harga yang harus dibayar atas keyakinan yang kita genggam. Perjuangan ini adalah gerakan napas panjang, tidak hanya satu, atau dua tahun.mungkin puluhan tahun hingga tulang rusuk kita membusuk ditaman bunga atau malah di dinginnya lantai penjara.
Kawan, ku tunggu kau untuk kembali bersama. Di ruang pengap, berteman buku, secangkir kopi dan sebatang pisang goreng dingin.

@@@@

Brakkk…………..
Lamunanku terkoyak, kulihat pintu kamarku rusak berantakan. Sepuluh personil manusia tegap bersenjata tepat dibelakangku. Kupaksa tubuhku berbalik arah, berlari sekencangnya. Menghindari terkaman manusiayang menghianati nuraninya sendiri.
Punggungku panas saat kudengar suara letusan senapan laras panjang. Aku goyah. “ waktuku telah datang” bisikku pelan. Sepelan langit yang mendadak terasa kelam. Sekilas angin wangi menusuk hidungku. Angin mati.Hitam….


Thanks For Bang Eko Prasetyo
Semarang, 28 mei 2008

No comments: