Friday, June 20, 2008

ketika mahasiswa harus subversif



Kampus merupakan salah satu institusi pendidikan yang sudah seharusnya melaksanakan kewajiban sebagai kontrol kebijakan dari pemerintah yang tidak pro rakyat. Sudah menjadi fakta tak terbantahkan bahwa tekanan moral dari institusi kampus memiliki daya tawar paling tinggi dalam menekan serta menghancurkan kebijakan non populis. Hal ini dikarenakan dukungan dan persepsi masyarakat yang masih percaya dengan institusi kampus bersih dari kepentingan politik kekuasan.
Salah satu organ yang menjadi motor pengendali tersebut adalah mahasiswa mahasiswa idealis yang berkecimpung dalam Organisasi Mahasiswa Intra Universitas, entah itu BEM, DPM ataupun Kelompok Study yang jamak kita lihat di kampus kampus. Mereka dengan segenap aktivitasnya mampu menyatakan dengan gigi gerahamnya bahwa mereka adalah oposan non parlementer, yang bergerak di jalan melalui moral force.
Penggambaran di atas adalah bentuk kekuasaan mahasiswa pada tahun 1977, yang dengan berani menggayang Perdana Menteri Jepang ketika datang ke Indonesia, menolak dengan tegas paket kapitalisme yang dibawa oleh Jepang. Hingga peristiwa Malari menggores sejarah peradapan mahasiswa.
Setelah itu, pembredelan serta pengkerdilan Organisasi Mahasiswa Intra Universitas pun berlangsung. Melalui Surat Keputusan Depolitisasi Kampus SK. No. 028/1978, Tentang Penghapusan Hak-Hak Politik Mahasiswa, Keputusan Kopkamtib No. Skep.02/Kopkam/ 1978, Tentang Pembekuan Dewan Mahasiswa, dan Pemberlakuan NKK-BKK No. 0156/u/ 1978, pemerintah memandulkan kekuatan mahasiswa di Indonesia hingga reformasi memecahkan kebekuan feodalisme tersebut.
Sayangnya, hingga sekarang ketika jaman kebebasan berlangsung, Organisasi Mahasiswa Intra Universitas masih belum bisa menunjukkan kekuatannya. Organisasi Mahasiswa belum mampu melawan tekanan dari kampus. Pemerintah kampus masih melakukan tindak represif terhadap perlawanan mahasiswa atas berlakunya kebijakan kampus.
Pemerintah dengan mudah mengatur Organisasi Mahasiswa Intra Universitas dengan pisau PP No 60 Tahun 1999 pasal 29 yang menyatakan bahwa Pimpinan Universitas adalah penanggung jawab tertinggi di Universitas. Ini menyebabkan Organisasi Mahasiswa Intra Universitas (contoh BEM) lemah dalam menjalankan advokasi mahasiswa. Kenaikan SPP merupakan contoh nyata arogansi Pemerintah Kampus yang sangat sulit untuk dihantam oleh Organisasi Mahasiswa Intra Universitas. Ancaman penghentian dana ataupun pembekuan Organisasi Mahasiswa Intra Universitas menjadi warna yang harus dihadapi.
Masih jelas di ingatan, bagaimana represifnya Rektor Universitas HKBP Nonmensen yang mengeluarkan serta menskors mahasiswa yang melawan kebijakan universitas yang menaikan SPP. Rektor Universitas Jenderal Soedirman, dengan kekuasaannya melakukan tindakan indemokrasi dengan membekukan BEM KM Universitas dengan alasan BEM KM Unsoed merupakan organisasi bentukan mahasiswa tanpa persatujuan rektorat sehingga dinyatakan sebagai organisasi mahasiswa illegal.
Bagaimana mungkin organisasi Mahasiswa yang memiliki tanggung jawab terhadap masyarakat untuk membebaskan dari ketidak adilan ternyata tidak memiliki independensi gerakan karena dengan mudah disetir oleh pemerintah kampus?
Organisasi Intra Universitas harus segera mengatur diri dan membentuk front perlawanan yang independen serta sejajar dengan kedudukan rektorat (dalam arti tidak bisa di intervensi atau dibekukan). Front bisa diupayakan dengan membentuk Keluarga Mahasiswa (KM) Universitas yang menyatukan organisasi mahasiswa yang ada di universitas (baik BEM,DPM,UKM, atau Kelompok Study Mahasiswa).
Kedudukan KM ini selain untuk mempererat kerjasama antar organisasi di kampus dan memperkuat kedudukan perjuangan massa mahasiswa di kampus, juga berperan dalam kerangka mengisolir klik paling reaksioner di kampus yaitu jajaran rektorat ataupun pengelola kampus.

Capung dewangga
Menteri Luar Negeri BEM KM Unnes


No comments: