Thursday, December 18, 2008

MengGolputkan Golput (catatan pemilu presiden Unnes #2)

“Hallah…. milih ra milih padha bae, ra nono untunge mendingan Golput wae”
Mungkin kalimat ini sering terdengar pada setiap proses Pemilu Presiden, Gubernur, Bupati, bahkan Presiden mahasiswa. Menarik dicermati mengapa fenomena Golput (Golongan Putih) semakin membesar. Bahkan berbahaya untuk perjalanan demokrasi.
Golput sebenarnya bukanlah bentuk sikap tidak mau peduli terhadap jalannya pemilu, melainkan sebuah sikap politik yang memiliki beberapa alasan. Secara umum ada tiga hal yang menyebabkan berkembangnya sikap Golput.
Pertama, adanya trauma masa lalu karena pergulatan yang tidak sehat dan para calon pemimpin yang mengumbar janji kosong ;kedua, tidak ada sosok pemimpin yang bisa dijadikan teladan,ketika mendapat kesempatan berkuasa bagai kacang lupa pada kulitnya. Tidak mau turun kebawah, mendengarkan keluh kesah langsun dai grass root ;ketiga,menerima doktrin yang salah. Poin ini menghinggapi sebagian besar kalangan mahasiswa. Karena pesan tersebut keluar dari mulut orang yang disegani, entah orang tua, dosen, guru ngaji ataupun senior, maka pesan ini dianggap sakral. Apalagi jika dikaitkan dengan study. Misalnya saja “ kamu kuliah yang bener, gak usah ikut ikutan masalah politik. Tugas mu belajar”. Pesan seperti ini tentu berpengaruh terhadap sikap mahasiswa dalam melihat pemilu.
Perlu peran serta seluruh komponen pemilu untuk mengurangi jumlah golput yang ada. Para calon seharusnya tidak lagi memberikan visi visi melangit, yang sulit untuk dibuktikan. Mahasiswa semakin semakin cerdas dalam memilih. Rasionalitas sudah mulai menjadi dasar dalam memilih. Sehingga kalima visi yang dianggap sebagai janji- janji kosong sudah tak ada artinya. Kemudian perlu dilaksanakan pendidikan politik terhadap mahasiswa. Tek perlu muluk muluk, cukup dengan kajian, diskusi atau lain sebagainya. Yang penting ada proses pembelajaran tentang pemaknaan pemilu, dan penyadaran kembali betapa pentingnya penggunaan hak pilih untuk memperbaiki sistem kepemimpinan.

Menghapus Phobiapolitik (catatan pemilu presiden Unnes #1)

Sejarah membuktikan bahwa pilar perjuangan demokrasi di Indoensia tidak pernah lepas dari nama “mahasiswa” sosok darah muda yang memiliki semangat yang meletup, jiwa idealism yang membahana serta keberanian luar biasa. Peristiwa 1998 adalah bukti yang tidak terbantahkan atas keriteria yang diatas. Mahasiswa bergerak bersama menjadi gerakan politik moral (moral force) mencoba memberantas kejumudan intelektual, mengadvokasi masyarakat, serta mengembangkan sayap demokrasi yang bertanggungjawab.
Namun, sejalan dengan waktu kata “politik” mengalami pergeseran identitas. Jika mahasiswa 1998 menganggap politik itu suci dalam arti gerakan moral, sekarang politik tak lebih dari upaya menghalalkan segala cara, tindakan kotor, “Tai kucing” (kata Gie). Sehingga apapun yang berhubungan politik harus dijauhi.
Tentu sikap ini seperti ini sangat berbahaya bagi kehidupan demokrasi, karena demokrasi begitu dekat dengan politik, Kebijakan tak lepas dari hasil analisis politik, reformasi adalah perjuangan politik, bahkan idealis dalam mengusung kebenaran adalah suatu sikap politik. Jadi bukan politik yang menyebabkan buruk, kerusuhan, dan penindasan melainkan kesalahan sikap manusia dalam mengejawantahakan politik.
Sedikit demi sedikit, itulah jalan untuk merubah paradigma buruk yang terlanjur melekat dalam politik. Pemilu dalam tataran intra mahasiswa adalah satu dari sekian banyak cara untuk merubah generalisasi ini. Ada beberapa hal yang harus dipenuhi dalam proses pemilu mahasiswa agar berjalan demokratis. Pertama, pemilu mahasiswa harus kompetitif dlam arti pemilih diberi kesempatan otonom dan bebas. Kedua, dilaksanakan secara berkala. Ketiga, harus inklusif, mahasiswa memiliki peluang sama dalam pemilu. Keempat, penyelenggaraan pemilu yang tidak memihak. Terakhir, dibutuhkan peran serta dari mahasiswa dalam pengawasan ats pelaksanaan pemilu mahasiswa
Jika hal diatas mampu dipenuhi, pemilu mahasiswa mampu menjadi salah satu pilar demokrasi yang menghasilkan para pemimpin yang tangguh serta memiliki etika kebenaran dalam berpolitik. Para pemimpin inilah yang akan memberikan tauladan bagaimana sebenarnya politik harus dipraktekan(capung ).

Wednesday, December 17, 2008

MERDEKA PENDIDIKAN INDONESIA ?

pendidikan berduka..
RUU BHP disyahkan

masih perlukah mahasiswa terbelah ?
BERSATU LAWAN!!!